KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah
swt, sebab karena rahmat dan nikmat-Nyalah saya dapat mnyelesaikan sebuah tugas
makalah Hukum Islam ini, yang diberikan oleh Ust Fuad Muhammad Zein selaku
dosen Pembimbing mata kuliah World view islam.
Pembuatan makalah ini bertujuan agar supaya
kita dapat mengetahui secara bersama bagaimana Peranan tentang Hukum Islam terhadap
Hukum Nasional yang berkembang Di Indonesia.
Adapun sumber-sember dalam pembuatan makalah
ini, didapatkan dari beberapa buku-buku yang membahas tentang materi yang
berkaitan dan juga melalui media internet. Saya sebagai penyusun makalah ini,
sangat berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak dapat secara langsung
untuk mengucapkannya.
Saya menyadari bahwa setiap manusia memiliki
keterbatasan, begitu pun dengan saya yang masih seorang mahasiswa. Dalam
pembuatan makalah ini mungkin masih banyak sekali kekurangan-kekurang yang
ditemukan, oleh karena itu saya mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Saya mangharapkan ada kritik dan saran dari dosen pembimbing mata kuliah Hukum
Islam serta para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembacanya.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
........................................................................
Daftar Isi
.................................................................................
1.1 Latar Belakang
..............................................................
1.2 Rumusan Masalah
.........................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ......
2.2
Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem dan Pembinaan Hukum
Nasional di Indonesia ...................................................
2.3
Politik Hukum Nasional di Indonesia ..........................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
..................................................................
3.2 Saran ............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional
di negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk,
karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem.
Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan
sistem hukum Barat.
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, hukum
adatlah yang paling tua umurnya. Hukum adat telah sangat lama hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam
disebarkan di tanah air. Belum ada kesepakatan oleh para ahli mengenai kapan
Islam pertama kali masuk ke Indonesia. ada yang mengatakannya pada abad ke-1
Hijriah (abad ke 7 Masehi), ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 (abad ke 13
Masehi). Meski tidak ada kepastian yang jelas mengenai kapan masuknya Hukum
Islam, namun dapat dikatakan bahwa begitu Hukum Islam masuk ke Indonesia, Hukum
Islam langsung diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di
Indonesia ini.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan
kedatangan orang – orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Pada awalnya
hukum Barat hanya berlaku bagi penduduk Eropa beserta keturunannya, tetapi
kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang – undangan hukum Barat itu
dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa, orang
Timur Asing (terutama Tionghoa) dan orang Indonesia.
Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang – orang
Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan
itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854. ketika masa
penjajahan Belanda, perkembangan hukum Islam dan hukum Adat dikendalikan dengan
adanya teori resepsi yang dikukuhkan dalam pasal 134 ayat (2) IS 1925 (1929).
Akan tetapi setelah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indonesia memerdekakan
diri pada tahun 1945, hukum Adat dan hukum Islam sebagian kemudian menjadi
berlaku dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang – undangan.
Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras
dan suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing
– masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada
setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan
tetapi, agama Islam bersifat
universal.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Islam di
Indonesia ?
2. Bagaimana Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem
Hukum Nasional ?
3. Bagaimanakah Hukum Islam dalam Tata Hukum di
Indonesia ?
4. Bagaimanakah Politik Hukum Nasional di
Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan
pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara.
[1]Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia
yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad
pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain
mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi.
Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan
pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam
pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu
Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut.
ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang
berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu,
selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika
itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam).
Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i.
Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan
Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri
(1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk
meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam
masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh
para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah
besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah
dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan
perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.
Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar
dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru
dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin
Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada
tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini
merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh
Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab
hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan
pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan
Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin.
Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum
Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai
masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan
Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum
yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di
samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini.
Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai
pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di
Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian
haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua
fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata
lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya.
Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC
kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat
berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus
memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka
sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa
mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus
dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta
kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan)
yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan
disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum
tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan
dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah –
daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum
yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk
Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum
Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar karangan
Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum
Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial
Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap
hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19,
dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera
menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan
berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa
pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Pengadilan Agama di
Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi
putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan
dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak
zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa
orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya
dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian
ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku
bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat.
Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori
inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk
meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang
tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang
Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam
belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S.
1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura
untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa
menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial
sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke
Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap
sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari
berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes
kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan
kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu
pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam
kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus
dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka.
Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam
Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar
1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan
pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk –
pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha
Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha
Esa’.Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah
tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2
ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut agama, maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi
sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan
Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya
satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama juga
diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
2.2 Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem dan Pembinaan Hukum
Nasional di
Indonesia
Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal,karena ia
merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya.Sebagaimana halnya
dengan agama islam yang universal sifatnya itu,hukum islam berlaku bagi orang
islam simanapun ia berada,apa pun nasionalitasnya.Hukum nasional adalah hukum
yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu.Dalam kasus
Indonesia,hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia
setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia,terutama warga
Negara Republik Indonesia,sebagai pengganti hukum colonial dahulu.
Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan
politik hukum tertentu.Politik hukum nasional Indonesia pokok-pokoknya
ditetapkan dalam Garis-Garis besar Haluan Negara,dirinci lebih lanjut oleh
Menteri Kehakiman Republik Indonesia.Untuk melaksanakannya,telah didirikan satu
lembaga yang (kini)bernama Badan Pembinaan Hukum Nasional,disingkat BPHN atau
Babinkumnas.Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan,di masa
yang akan datang,akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda
ditambah lagi dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penguasa
colonial dahulu,bukanlah pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional yang
akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang
dipeluknya,haruslah dilakukan dengan hati-hati,karena diantara agama yang
dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ada agama yang tidak dapat dicerai
pisahkan dari hukum. Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di
negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, unsur hukum agama harus
benar-benar diperhatikan.Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan yang jelas.
Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional. Diketahui
bahwa untuk membina hukum nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik
hukum Indonesia telah ditetapkan dalam UUD 1945, pokoknya dirumuskan dalam GBHN
yang kemudian dirinci oleh : Menteri Kehakinan dan dilaksanakan oleh Departemen
terkait dengan koordinasi dengan Badan Pembinsan Hukum Nasional (BPHN).
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia
sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang
diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan
diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan
Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan
bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di
bawah Mahkamah Agung, timbul keragu-raguan di beberapa kalangan mengenai
eksistensi pengadilan agama itu, terutama dari kalangan pejabat di lingkungan
Departemen Agama yang menghawatirkan kehilangan kendali administratif atas
lembaga pengadilan agama. Pembinaan kemandirian lembaga peradilan ke bawah
Mahkamah Agung itu memang dilakukan bertahap, yaitu dengan jadwal waktu lima
tahun
Berdasarkan ciri-ciri khas hukum islam dalam
kesejarahannya,Pembinaan hukum islam di Indonesia harus diarahkan kepada
hal-hal berikut:Pertama,para jurist Muslim harus bersedia membatasi lingkup
daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam yang diikuti oleh perumusan
prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan
kebutuhan masa.Untuk merealisasikan hal itu diperlukan fungsionalisasi efektif
lembaga-lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yangs esuai
dengan perkembangan hukum islam di Indonesia dalam rangka pembentukan dan
unifikasi hukum islam ala Indonesia
Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah-satu sumber bahan baku
dalam pembentukan hukum nasional,hukum islam sesuai dengan kemauan dan
kemampuan yang ada padanya,dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum
nasional.
Kita yakin bahwa asas yang diperlukan itu ada
dalam hukum syariat dan fiqih islam. Namun yang menjadi masalah utama adalah
merumuskan asas-asas tersebut dalam kata-kata yang jelas yang dapat
diterima,baik oleh golongan yang bukan islam maupun oleh golongan yang beragama
islam sendiri.Merumuskan asas-asas tersebut kedalam bahasa atau kata-kata
yang dapat dipahami,memang merupakan suatu masalah.
Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional
Babinkumnas atau BPHN telah berusaha menemukan asas-asas dimaksud dan
merumuskannya kedalam kaidah-kaidah untuk dijadikan bahan pembinaan hukum
nasional.
Dalam hubungan ini tidak ada salahnya kalau dikemukakan bahwa
karena bangsa Indonesia mayoritas beragama islam,ada pendapat yang mengatakan
seyogianya kaidah-kaidah hukum islamlah yang menjadi norma-norma hukum islam.
Dilihat dari segi normative,sebagai konsekuensi pengucapan dua kalimat
syahadat,demikianlah hendaknya.Namun dipandang dari sudut kenyataan dan politik
hukum tersebut,tidaklah begitu.Menurut politik hukum yang dilaksanakan oleh
pemerintah di Indonesia tidaklah karena mayoritas rakyat Indonesia beragama
islam,norma-norma hukum islam secara ‘otomatis’ menjadi norma-norma hukum
nasional.Norma-norma hukum islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional
(ditransformasikan menjadi hukum nasional),menurut politik hukum itu,apabila
norma-norma hukum islam sesuai dan dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan
rakyat Indonesia.Ketentuan tersebut dalam kaliamat terakhir ini berlaku juga
bagi hukum adapt dan hukum eks-barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses
pembinaan hukum nasional.
Ada pula yang beranggapan bahwa dalam mengkji dan mengolah
asas-asas serta kaidah-kaidah hukum islam,harus dibedakan antara asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum islam yang abadi sifatnya yakni asas-asas dan kaidah-kaidah
yang terdapat dalam hukum syariat islam dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum
islam yang tidak abadi sifatnya, yang terdapat dalam hukum fiqih islam. Yang
pertama harus diikuti dari A sampai Z,sedang yang kedua,menurut A.Zaki Yamani
(1978) tidak wajib diikuti dari A sampai Z,karena mungkin ada di antara
asas-asas dan kaidah itu sangat sesuai untuk keadaan masa lampau,tetapi tidak
cocok lagi untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat
tertentu seperti Indonesia ini.
Sementara itu patut juga dicatat bahwa transformasi hukum agama
menjadi hukum nasioanal terjadi juga di beberapa negara Muslim seperti Mesir,
Syria, Irak, Jordania dan Lybia.Yang berbeda adalah kadar unsur-unsur hukum
islam dalam hukum nasional negara-negara yang bersangkutan.Di negara-negara
tersebut, menurut Majid Khadduri (1966), hukum nasional mereka merupakan
perpaduan antara asas-asas hukum Barat dengan asas-asas hukum islam. Ditanah
air kita, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan
antara hukum adapt, hukum Islam dan hukum eks-Barat.
Perkembangan hukum islam di negara-negara islam dan
negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama islam di masa yang akan
datang,menunjukkan keanekaragaman dan kesatuan. Jika dilihat dari segi hukum
islam sendiri,keanekaragaman itu akan terlihat pada bidang-bidang hukum
ekonomi,perdagangan internasional,asuransi,perhubungan (laut,darat,dan
udara),perburuhan,acara,susunan dan kekuasaan peradilan,administrasi dan
lain-lain bidang hukum yang bersifat netral.
Jika kalimat-kaliamat di atas diterapkan ke dalam konteks hukum
nasional Indonesia,”keanekaragaman” hukum (fiqih) islam untuk negara-negara
islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam akan menjadi
satu dan merupakan kesatuan hukum nasional yang dituangkan dalam
kodifikasi-unifikasi yang berlaku bagi semua warga negara dan
penduduk(Indonesia),sedang yang merupakan “kesatuan” bagi umat islam di mana
pun mereka berada,jika diterapkan kedalam situasi dan kondisi Indonesia,akan
merupakan keanekaragaman, karena keanekaragaman hukum agama yang dipeluk oleh
umat beragama dalam Negara Republik Indonesia.Hukum keluarga,yang terdiri dari
hukum perkawinan dan hukum kewarisan,menurut almarhum Profesor supomo, karena
berhubungan erat dengan agama, harus berbeda, sesuai dengan perbedaan agama
yang dipeluk oleh bangsa Indonesia
Apabila membicarakan hukum islam dalam pembinaan hukum
nasional,perlu diungkapkan produk pemikiran hukum islam dalam sejarah perilaku
umat Islam dalam melaksanakan hukum islam di Indonesia,seiring pertumbuhan dan
perkemangannya yaitu : Syariah, Fikih, dan Fatwa ulama/hakim.
Hukum islam yang berbentuk fatwa adalah hukum
islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya
pertanyaan yang diajukan kepadanya.Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama Indonesia
mengenai larangan Natal bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.Fatwa
dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis
formal terhadap peminta fatwa.Namun, fatwa mengenai larangan Natal bersama
dimaksud secar yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh umat islam di
Indonesia.Oleh karena itu, fatwa pada umunya cenderung bersifat dinamis
terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat islam.
•Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk Keputusan
Pengadilan Agama adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas
adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau
lebih dan/atau lembaga kepadanya.Keputusan dimaksud, bersifat mengikat kepada
pihak-pihak yang beperkara.Selain itu, keputusan pengadilan agama dapat bernilai
sebagai yurisprudensi (jurisprudence), yang dalam kasus tertentu dapat
dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
•Perundang-undangan Indonesia
Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia adalah
yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih
luas.Oleh karena itu, sebagai peraturan organic, terkadang tidak elastis
mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan.Sebagai contoh Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan.Undang-undang itu memuat hukum Islam dan
mengikat kepada setiap warga negara Republik Indonesia.
Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh
peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum
Adat. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum
Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam.
Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat
dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber
pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum
barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan
sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.
2.3 Politik Hukum
Nasional di Indonesia
Setelah serangkaian empat kali perubahan UUD 1945, tidak dikenal
lagi garis-garis besar haluan negara yang selama pemerintahan Orde Baru dapat
kita temukan garis-garis besar arah politik hukum nasional dalam kurun waktu
lima tahunan. Karena itu bagaimana hukum itu dibangun dan dikembangkan dapat
dikembalikan dalam kerangka UUD 1945 baik yang tercermin dalam cita hukum yang
terkandung dalam pembukaan UUD 1945 maupun dalam pasal-pasalnya.
Hukum bukanlah lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral
metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan malinkan ius yang telah
mengalami posisitivisasi sebagai lege atau lex guna menjamin kepastian “apa
yang terbilang hukum” dan “ apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan
sebagal hal-hal yang bukan hukum” (Wignjosoebroto dalam Mieke Komar at.al, 1999
: 210-211). Dalam posisi seperti ini, negara (pemegang otoritas) menjadi sangat
penting dalam menentukan apa yang merupakan hukum dan apa yang tidak merupakan
hukum. Norma agama, norma moral serta adat istiadat tidaklah dianggap sebagai
norma hukum. Sedangkan norma hukum haruslah memiliki kekuatan mengikat dan
memaksa dimana negaralah yang menentukannya. Negaralah yang memproduk hukum
dalam bentuk perundang-undangan. Apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang
ada dalam perundang-undangan itu (what it’s in the text) atau paling tidak
memiliki dasar berlaku yang bersumber dari undang-undang.
Peran negara bagi pembentukan hukum dan apa yang merupakan hukum
atau tidak merupakan hukum nampak pada politik hukum yang dianut dalam sistem
hukum Indonesia. Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan politik pluralisme
hukum, dimana berlaku hukum yang berbeda untuk golongan-golongan masyarakat
Hindia Belanda yang berbeda pula yaitu politik hukum adat (adatrechtpolitiek)
yang berlaku bagi golongan bumi putera. Hukum yang diintrodusir dari Belanda
yang berlaku bagi golongan Eropa dan golongan masyarakat lainnya yang
menundukkan diri pada hukum Eropa dan hukum masing-masing dari golongan Cina
dan Timur Asing. Dengan demikian Belanda menerapkan politik hukum majemuk dan
mengabaikan unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda. (Lihat
Daniel Lev, 1990 : 439-455). Dengan politik yang demikian apa yang disebut
hukum yang berlaku di Hindia Belanda adalah tergantung pada golongan hukum yang
dianut.
Indonesia adalah termasuk kelompok negara yang melakukan politik
hukumnya secara tetap dan sistematis (terprogram). Hal ini tentu disebabkan
oleh kenyataan bahwa disatu pihak negara Indonesia adalah dari negara eks
jajahan Belanda yang meninggalkan hukum-hukum kolonial yang berlaku di
Indonesia – walaupun tidak seluruhnya hukum kolonial itu jelek – hampir di
seluruh aspek kehidupan. Pada pihak lain ada kehendak untuk mengganti
hukum-hukum kolonial itu dengan hukum baru produk Indonesia merdeka dengan
berpedoman pada cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee) yang
termuat dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945). Disamping itu pembentukan hukum
itu terus berjalan dan disempurnakan, bahkan hukum yang dibentuk setelah
merdeka pun terus mengalami perubahan-perubahan sesuai tuntutan perkembangan
masyarakat dan negara.
Isi dan corak politik hukum itu dapat berbeda antara satu dengan
yang lain, karena berbagai faktor (Bagir Manan dalam Mieke Komar at al hlm
231-237), antara lain : a) dasar dan corak politik; b) tingkat perkembangan
masyarakat; c) susunan masyarakat; serta d) pengaruh global. Dasar dan corak
politik hukum Indonesia bersumber pada konstitusi (pembukaan UUD 1945), yang
didalamnya mengandung cita negara, cita hukum dan dasar-dasar politik hukum
negara. Hukum ditujukan untuk mewujudkan kedailan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia, kemakmuran rakyat, memenuhi prinsip kemanusiaan, serta dilandasi
oleh demokrasi dan musyawarah yang seluruhnya dengan menghormati ajaran agama.
Dengan landasan itulah politik hukum dibangun dan dikembangkan baik pada
tataran tujuan maupun proses pembentukan hukum dalam berbagai
perundang-undangan. Karena pemahaman terhadap hukum di Indonesia yang
dipengaruhi oleh paham positivistik maka pada kenyataannya hukum –khususnya
peraturan perundang-undangan – adalah merupakan produk politik.
Sebagai negara demokrasi – walaupun masih pada tahap demokrasi
yang belum mapan – proses pembentukan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi
oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dan berbeda idiologi dan kepentingan
politiknya. Hukum yang lahir dari negara demokratis sangat dipengaruhi oleh
kekuatan dan pendapat rakyat melalui prosedur demokrasi, dan hal ini berbeda
dengan negara otoriter yang sangat dipengaruhi oleh pihak penguasa. Walaupun
harus diakui, pada kenyataannya pembentukan hukum sangat didomisasi oleh
elit-elit politik yang memiliki otoritas yang dianggap representasi rakyat dan
dilain pihak keterlibatan rakyat secara langsung yang masih minim.
Susunan masyarakat Indonesia adalah sangat majemuk – plural –
dan tidak homogen. Hal ini tercermin dalam dalam semboyan “bhinneka tunggal
ika”. Karena susunan masyarakat yang demikianlah pembentukan hukum harus
menghormati keragaman itu, kepentingan satu pihak tidak dapat dipaksanakan pada
pihak lainnya. Dengan demikian cita-cita unifikasi hukum tidak bisa dipaksakan
dan haruslah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan sosial rakyat
Indonesia yang majemuk. Kericuhan pembangunan hukum selama selama ini sangat
dipengaruhi oleh cita-cita unifikasi hukum, yaitu satu hukum nasional yang
berlaku untuk semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Akibatnya adalah
perebutan kekuatan politik dalam pembentukan perundang-undangan menjadi
menonjol. Demikian juga dalam bidang hukum lainnya, termasuk rancangan hukum
pidana nasional yang sedang diperdebatkan sekarang ini mulai memperhatikan
aspek-aspek terkait dengan hukum islam. Sebaliknya jika syariat (fiqh) ini
tidak bisa berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sangat mungkin
memperluas pemberlakuan hukum islam pada aspek-aspek lain yang khusus berlaku
bagi penganut agama Islam. Politik hukum juga harus memperhatikan perkembangan
global terutama perkembangan ekonomi, iptek dan hubungan antara negara yang
semakin tidak lagi memiliki tapal batas antar negara. Akomodasi terhadap
perkembangan glogal tidak diartikan sebaga penerimaan penuh pada apa yang
berkembang di negara-negara lain, akan tetapi harus diartikan sebagai proses
adaptasi dan penyesuaian yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip dan
nilai-nilai serta kepercayaan yang berkembang kuat dalam masyarakat kita. Penerimaan
nilai-nilai baru dengan cara revolusioner akan menimbulkan goncangan yang
seharusnya dihindari dalam masyarakat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, hukum Islam bersifat
universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan
kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat
Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum Islam menjadi
hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter
bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah
dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam
sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu semakin
kokoh.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring
dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah
perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum
Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa
penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang
menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang
sangat berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang
mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang
telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan.
Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan
hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam
menyelesaikan masalah – masalah perdata
3.2 Saran-saran
Dalam rangka dilakukannya upaya pembangunan hukum nasional
alangkah baiknya memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum Islam karena
hukum Islam ini telah mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat
dilakukan dengan kajian terhadap hukum Islam secara mendalam dengan memperhatikan
wawasan kebangsaan. Lembaga Legislasi dalam pembentukan hukum nasional juga
harus selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pengkaji hukum Islam yang ada
di Indonesia.
Sebagai makhluk Tuhan kita harus memiliki jiwa sosial kita harus
mengutamakan bertoleransi, khususnya dalam beragama. Jadi, khususnya kita para
jiwa muda penerus bangsa wajiblah kita untuk memahami lebih dahulu tentang
sejarah hukum Islam di Indonesia lalu kita mengetahui tentang perkembangan
hukum Islam melalui politik hukum nasional agar kelak kita (khususnya umat
muslim) dapat terus mempertahankan hukum dan budaya kita.
Agar kelak makalah ini dapat berkembang dan menjadi lebih baik
saya sebagai pembuat makalah sangat berharap adanya kritik dan saran untuk
perbaikan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita dalam
bidang hukum islam khususnya.
Daftar Pustaka
· Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam
dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
· Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam
: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali
Pers, 1990.
· Dr. Amir Machmud & H. Rukmana, S.E.,
M.Si., Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia.
Jakarta: Erlangga, 2010.
· Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia
(Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
· Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU
No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum
No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar