Minggu, 09 April 2017

Peran hukum nasional terhadap hukum nasional

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah swt, sebab karena rahmat dan nikmat-Nyalah saya dapat mnyelesaikan sebuah tugas makalah  Hukum Islam ini, yang diberikan oleh Ust Fuad Muhammad Zein selaku dosen Pembimbing mata kuliah World view islam.
           
Pembuatan makalah ini bertujuan agar supaya kita dapat mengetahui secara bersama bagaimana Peranan tentang Hukum Islam terhadap Hukum Nasional yang berkembang Di Indonesia.

Adapun sumber-sember dalam pembuatan makalah ini, didapatkan dari beberapa buku-buku yang membahas tentang materi yang berkaitan dan juga melalui media internet. Saya sebagai penyusun makalah ini, sangat berterima kasih kepada penyedia sumber walau tidak dapat secara langsung untuk mengucapkannya.
           
Saya menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan, begitu pun dengan saya yang masih seorang mahasiswa. Dalam pembuatan makalah ini mungkin masih banyak sekali kekurangan-kekurang yang ditemukan, oleh karena itu saya mengucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya. Saya mangharapkan ada kritik dan saran dari dosen pembimbing mata kuliah Hukum Islam serta para pembaca sekalian dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.




DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................................
Daftar Isi .................................................................................
1.1 Latar Belakang ..............................................................
1.2 Rumusan Masalah .........................................................
BAB II PEMBAHASAN
    2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ......
    2.2 Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem dan Pembinaan Hukum   
          Nasional di Indonesia ...................................................
    2.3 Politik Hukum Nasional di Indonesia ..........................
BAB III PENUTUP
    3.1 Kesimpulan ..................................................................
    3.2 Saran ............................................................................
DAFTAR PUSTAKA


BAB I



PENDAHULUAN
1.1             Latar Belakang
Sistem hukum Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku nasional di negara Republik Indonesia. sistem hukum Indonesia tersebut bersifat majemuk, karena sistem hukum yang berlaku nasional terdiri dari lebih satu sistem. Sistem – sistem tersebut adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum Barat.
Dari ketiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, hukum adatlah yang paling tua umurnya. Hukum adat telah sangat lama hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Hukum Islam baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air. Belum ada kesepakatan oleh para ahli mengenai kapan Islam pertama kali masuk ke Indonesia. ada yang mengatakannya pada abad ke-1 Hijriah (abad ke 7 Masehi), ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 (abad ke 13 Masehi). Meski tidak ada kepastian yang jelas mengenai kapan masuknya Hukum Islam, namun dapat dikatakan bahwa begitu Hukum Islam masuk ke Indonesia, Hukum Islam langsung diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama islam di Indonesia ini.
Hukum Barat diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan orang – orang Belanda untuk berdagang di Nusantara ini. Pada awalnya hukum Barat hanya berlaku bagi penduduk Eropa beserta keturunannya, tetapi kemudian melalui berbagai upaya peraturan perundang – undangan hukum Barat itu dinyatakan berlaku juga bagi mereka yang disamakan dengan orang Eropa, orang Timur Asing (terutama Tionghoa) dan orang Indonesia.
Hukum adat dan hukum islam adalah hukum bagi orang – orang Indonesia asli dan mereka yang disamakan dengan penduduk bumiputera. Keadaan itu diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu, sejak tahun 1854. ketika masa penjajahan Belanda, perkembangan hukum Islam dan hukum Adat dikendalikan dengan adanya teori resepsi yang dikukuhkan dalam pasal 134 ayat (2) IS 1925 (1929). Akan tetapi setelah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indonesia memerdekakan diri pada tahun 1945, hukum Adat dan hukum Islam sebagian kemudian menjadi berlaku dengan dikeluarkannya beberapa peraturan perundang – undangan.
Sebagai negara yang penduduknya terdiri dari berbagai macam ras dan suku bangsa, Indonesia menghormati kebebasan penduduknya memeluk agama masing – masing, sehingga tidaklah mungkin menerapkan hukum Islam secara penuh kepada setiap warga negara, meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Akan tetapi, agama Islam bersifat universal.          
1.2 Rumusan Masalah
Dalam makalah ini, penulis mengidentifikasikan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia ?
2.      Bagaimana Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional ?
3.      Bagaimanakah Hukum Islam dalam Tata Hukum di Indonesia ?
4.      Bagaimanakah Politik Hukum Nasional di Indonesia ?

BAB II
PEMBAHASAN 
2.1 Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terjadi perbedaan pendapat para ahli mengenai kapan pertama kali Islam measuk ke Nusantara. [1]Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar Masuknya Islam ke Indonesia yang diselenggarakan di Medan 1963, Islam telah masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad ketujuh/kedelapan masehi. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke Nusantara ini pada abad ke-13 Masehi. Daerah yang pertama didatanginya adalah pesisir utara pulau Sumatera dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Pereulak Aceh Timur dan kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Ketika singgah di Samudera Pasai pada tahun 1345 Masehi, Ibnu Batutah, seorang pengembara, mengagumi perkembangan Islam di negeri tersebut. ia mengagumi kemampuan Sultan Al-Malik Al-Zahir dalam berdiskusi tentang berbagai masalah Islam dan Ilmu Fiqh. Menurut pengembara Arab Islam Maroko itu, selain sebagai seorang raja, Al-Malik Al-Zahir yang menjadi Sultan Pasai ketika itu adalah juga seorang fukaha (ahli hukum yang mahir tentang hukum Islam). Yang dianut di kerajaan Pasai pada waktu itu adalah hukum Islam Mazhab Syafi’i. Menurutt Hamka, dari Pasailah disebarkan paham Syafi’i ke kerajaan – kerajaan Islam lainnya di Indonesia. Bahkan setelah kerajaan Islam Malaka berdiri (1400-1500 M) para ahli hukum Islam Malaka datang ke Samudra Pasai untuk meminta kata putus mengenai berbagai masalah hukum yang mereka jumpai dalam masyarakat.
Dalam proses Islamisasi kepulauan Indonesia yang dilakukan oleh para saudagar melalui perdagangan dan perkawinan, peranan hukum Islam adalah besar. Kenyataan ini dilihat bahwa bila seorang saudagar Muslim hendak menikah dengan seorang wanita pribumi, misalnya, wanita itu diislamkan lebih dahulu dan perkawinannya kemudian dilangsungkan menurut ketentuan Hukum Islam.
Setelah agama Islam berakar pada masyarakat, peranan saudagar dalam penyebaran Islam digantikan oleh para ulama yang bertindak sebagai guru dan pengawal Hukum Islam. Salah satu contoh ulama yang terkenal adalah Nuruddin Ar-Raniri, yang menulis buku hukum Islam dengan judul Siratal Mustaqim pada tahun 1628. menurut Hamka, kitab Hukum Islam yang ditulis oleh Ar-Raniri ini merupakan kitab hukum Islam pertama yang disebarkan ke seluruh Indonesia. oleh Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari, yang menjadi mufti di Banjarmasin, kitab hukum Siratal Mustaqim itu diperluas dan diperpanjang uraiannya dan dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antara umat Islam di daerah kesultanan Banjar. Kitab yang sudah diuraikan ini kemudian diberi nama Sabilal Muhtadin. Di daerah kesultanan Palembang dan Banten, terbit pula beberapa kitab Hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan mereka ditulis oleh Syaikh Abdu Samad dan Syaikh Nawawi Al-Bantani.
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sebelum Belanda mengukuhkan kekuasannya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah ada dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang di samping kebiasaan atau adat penduduk yang mendiami kepulauan Nusantara ini. Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan Nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.
Pada akhir abad keenam belas, VOC merapatkan kapalnya di Pelabuhan Banten, Jawa Barat. semula maksudnya adalah berdagang, tapi kemudian haluannya berubah menjadi menguasai kepulauan Indonesia. VOC memiliki dua fungsi, pertama sebagai pedagang, kedua sebagai badan pemerintahan. Dalam kata lain, Sebagai badan pemerintahan VOC menggunakan hukum Belanda yang dibawanya. Akan tetapi hukum Belanda tidak pernah bisa diterapkan seluruhnya, sehingga VOC kemudian membiarkan lembaga – lembaga asli yang ada di dalam masyarakat berjalan terus seperti keadaan sebelumnya. Pemerintah VOC terpaksa harus memperhatikan hukum yang hidup dan diikuti oleh rakyat dalam kehidupan mereka sehari – hari. Dalam statuta Jakarta (Batavia) tahun 1642 disebutkan bahwa mengenai soal kewarisan bagi orang Indonesia yang beragama Islam harus dipergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari – hari.
Berdasarkan pola pemikiran tersebut, pemerintah VOC meminta kepada D.W. Freijer untuk menyusun suatu compendium (intisari atau ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Setelah diperbaiki dan disempurnakan oleh para penghulu dan ulama Islam, ringkasan kitab hukum tersebut diterima oleh pemerintah VOC (1760) dan dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi di kalangan umat Islam di daerah – daerah yang dikuasai VOC. Selain Compendium Freijer, banyak lagi kitab hukum yang dibuat di zaman VOC, di antaranya ialah kitab hukum mogharraer untuk Pengadilan Negeri Semarang. Kitab hukum ini adalah kitab perihal hukum – hukum Jawa yang dialirkan dengan teliti dari kitab hukum Islam Muharrar karangan Ar-Rafi’i. Mogharraer memuat sebagian besar hukum pidana Islam. Posisi hukum Islam di zaman VOC ini berlangsung demikian, selama lebih kurang dua abad.
Waktu pemerintahan VOC berakhir dan pemerintahan kolonial Belanda menguasai sungguh – sungguh kepulauan Indonesia, sikapnya terhadap hukum Islam mulai berubah. Perubahan ini khususnya tampak pada abad ke 19, dimana ketika itu banyak orang Belanda sangat berharap dapat segera menghilangkan pengaruh agama Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara, salah satunya adalah kristenisasi. Mereka berpendapat bahwa pertukaran agama penduduk menjadi kristen akan menguntungkan negeri Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk menyelesaikan perkara perdata antara sesama orang bumi putera. Inti wewenang Pengadilan Agama ini adalah kelanjutan praktik pengadilan dalam masyarakat bumiputera yang beragama Islam yang telah berlangsung sejak zaman pemerintahan VOC dan kerajaan – kerajaan Islam sebelumnya.
Seorang ahli hukum Belanda bernama van den Berg mengatakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan: receptio in complexu. Pendapat ini kemudian ditentang oleh Christian Snouck Hurgronje, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi orang Islam di kedua daerah itu bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Pendapat ini kemudian terkenal dengan nama receptie theorie. Karena teori inilah pada tahun 1922, pemerintah Belanda membentuk sebuah komisi untuk meninjau kembali wewenang Priesterraad atau Raad Agama di Jawa dan Madura yang tahun 1882 secara resmi berwenang mengadili perkara kewarisan orang – orang Islam menurut ketentuan hukum Islam. Dengan alasan bahwa hukum kewarisan Islam belum diterima sepenuhnya oleh hukum adat, maka melalui pasal 2a ayat (1) S. 1937 : 116 dicabutlah wewenang Raad atau Pengadilan Agama di Jawa dan Madura untuk mengadili perkara warisan. Usaha giat raja – raja Islam di Jawa menyebarkan hukum Islam di kalangan rakyatnya distop oleh pemerintah kolonial sejak 1 April 1937. wewenang untuk mengadili perkara kewarisan pun dialihkan ke Landraad.
Akan tetapi, Landraad ketika memutuskan perkara warisan dianggap sangat bertentangan dengan hukum Islam, sehingga menimbulkan reaksi dari berbagai organisasi Islam. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pun memprotes kehadiran S. 1937 : 116, karena staatsblad tersebut dianggap telah menggoyahkan kedudukan hukum Islam dalam masyarakat Muslim Indonesia. Meski begitu pemerintah Belanda tetap tidak menghiraukan protes tersebut.
Usaha untuk mengendalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya semula (sebelum dikendalikan oleh Pemerintah Belanda) terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan yang terbuka. Salah satu contohnya adalah ketika sidang BPUPKI berhasil menghasilkan Piagam Jakarta (22 juni 1945) yang selanjutnya menjadi Pembukaan Undang – Undang Dasar 1945. di dalam piagam ini, dinyatakan antara lain bahwa negara ‘berdasarkan pada Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk – pemeluknya’. Tujuh kata terakhir ini oleh PPKI diganti dengan kata ‘Yang Maha Esa’ dan ditambahkan pada ‘Ketuhanan’ sehingga berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’.Setelah kemerdekaan Indonesia, adanya UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di Indonesia, maka IS yang menjadi landasan legal teori resepsi sudah tidak berlaku lagi. Bagaimana posisi hukum Islam? Dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama, maka jelas hukum Islam telah langsung menjadi sumber hukum. Pengadilan bagi orang yang beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Pengadilan Agama kembali mempergunakan Hukum Islam, sekurang – kurangnya satu asas dalam menyelesaikan satu sengketa. Pengadilan Agama juga diperbolehkan menggunakan hukum adat asalkan tidak bertentangan dengan hukum Islam.
2.2 Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem dan Pembinaan Hukum Nasional di    
       Indonesia
Hukum islam adalah hukum yang bersifat universal,karena ia merupakan bagian dari agama islam yang universal sifatnya.Sebagaimana halnya dengan agama islam yang universal sifatnya itu,hukum islam berlaku bagi orang islam simanapun ia berada,apa pun nasionalitasnya.Hukum nasional adalah hukum yang berlaku bagi bangsa tertentu di suatu negara nasional tertentu.Dalam kasus Indonesia,hukum nasional juga berarti hukum yang dibangun oleh bangsa Indonesia setelah Indonesia merdeka dan berlaku bagi penduduk Indonesia,terutama warga Negara Republik Indonesia,sebagai pengganti hukum colonial dahulu.
 Untuk membangun dan membina hukum nasional diperlukan politik hukum tertentu.Politik hukum nasional Indonesia pokok-pokoknya ditetapkan dalam Garis-Garis besar Haluan Negara,dirinci lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman Republik Indonesia.Untuk melaksanakannya,telah didirikan satu lembaga yang (kini)bernama Badan Pembinaan Hukum Nasional,disingkat BPHN atau Babinkumnas.Melalui koordinasi yang dilakukan oleh badan ini diharapkan,di masa yang akan datang,akan terwujud satu hukum nasional di tanah air kita.
Untuk mewujudkan satu hukum nasional bagi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dengan kebudayaan dan agama yang berbeda ditambah lagi dengan keanekaragaman hukum yang ditinggalkan oleh penguasa colonial dahulu,bukanlah pekerjaan yang mudah. Pembangunan hukum nasional yang akan berlaku bagi semua warga negara tanpa memandang agama yang dipeluknya,haruslah dilakukan dengan hati-hati,karena diantara agama yang dipeluk oleh warga negara Republik Indonesia ada agama yang tidak dapat dicerai pisahkan dari hukum. Oleh karena itu, dalam pembangunan hukum nasional di negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, unsur hukum agama harus benar-benar diperhatikan.Untuk itu perlu wawasan dan kebijaksanaan yang jelas.
Peranan hukum Islam dalam pembinaan hukum nasional. Diketahui bahwa untuk membina hukum nasional diperlukan politik hukum tertentu. Politik hukum Indonesia telah ditetapkan dalam UUD 1945, pokoknya dirumuskan dalam GBHN yang kemudian dirinci oleh : Menteri Kehakinan dan dilaksanakan oleh Departemen terkait dengan koordinasi dengan Badan Pembinsan Hukum Nasional (BPHN).
    Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU tentang Peradilan Agama tahun 1998, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu makin kokoh. Akan tetapi, sejak era reformasi, dengan ditetapkannya Ketetapan MPR tentang Pokok-Pokok Reformasi yang mengamanatkan bahwa keseluruhan sistem pembinaan peradilan diorganisasikan dalam satu atap di bawah Mahkamah Agung, timbul keragu-raguan di beberapa kalangan mengenai eksistensi pengadilan agama itu, terutama dari kalangan pejabat di lingkungan Departemen Agama yang menghawatirkan kehilangan kendali administratif atas lembaga pengadilan agama. Pembinaan kemandirian lembaga peradilan ke bawah Mahkamah Agung itu memang dilakukan bertahap, yaitu dengan jadwal waktu lima tahun
Berdasarkan ciri-ciri khas hukum islam dalam kesejarahannya,Pembinaan hukum islam di Indonesia harus diarahkan kepada hal-hal berikut:Pertama,para jurist Muslim harus bersedia membatasi lingkup daerah kehidupan yang dijangkau oleh hukum Islam yang diikuti oleh perumusan prinsip-prinsip pengambilan keputusan hukum agama yang lebih mencerminkan kebutuhan masa.Untuk merealisasikan hal itu diperlukan fungsionalisasi efektif lembaga-lembaga yang ada serta upaya penyusunan metodologi hukum yangs esuai dengan perkembangan hukum islam di Indonesia dalam rangka pembentukan dan unifikasi hukum islam ala Indonesia
Sesuai dengan kedudukannya sebagai salah-satu sumber bahan baku dalam pembentukan hukum nasional,hukum islam sesuai dengan kemauan dan kemampuan yang ada padanya,dapat berperan aktif dalam proses pembinaan hukum nasional.
Kita yakin bahwa asas yang diperlukan itu ada dalam hukum syariat dan fiqih islam. Namun yang menjadi masalah utama adalah merumuskan asas-asas tersebut dalam kata-kata yang jelas yang dapat diterima,baik oleh golongan yang bukan islam maupun oleh golongan yang beragama islam sendiri.Merumuskan asas-asas tersebut kedalam  bahasa atau kata-kata yang dapat dipahami,memang merupakan suatu masalah.
 Tim Pengkajian Hukum Islam Badan Pembinaan Hukum Nasional Babinkumnas atau BPHN telah berusaha menemukan asas-asas dimaksud dan merumuskannya kedalam kaidah-kaidah untuk dijadikan bahan pembinaan hukum nasional.
Dalam hubungan ini tidak ada salahnya kalau dikemukakan bahwa karena bangsa Indonesia mayoritas beragama islam,ada pendapat yang mengatakan seyogianya kaidah-kaidah hukum islamlah yang menjadi norma-norma hukum islam. Dilihat dari segi normative,sebagai konsekuensi pengucapan dua kalimat syahadat,demikianlah hendaknya.Namun dipandang dari sudut kenyataan dan politik hukum tersebut,tidaklah begitu.Menurut politik hukum yang dilaksanakan oleh pemerintah di Indonesia tidaklah karena mayoritas rakyat Indonesia beragama islam,norma-norma hukum islam secara ‘otomatis’ menjadi norma-norma hukum nasional.Norma-norma hukum islam baru dapat dijadikan norma hukum nasional (ditransformasikan menjadi hukum nasional),menurut politik hukum itu,apabila norma-norma hukum islam sesuai dan dapat menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia.Ketentuan tersebut dalam kaliamat terakhir ini berlaku juga bagi hukum adapt dan hukum eks-barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum nasional.
Ada pula yang beranggapan bahwa dalam mengkji dan mengolah asas-asas serta kaidah-kaidah hukum islam,harus dibedakan antara asas-asas dan kaidah-kaidah hukum islam yang abadi sifatnya yakni asas-asas dan kaidah-kaidah yang terdapat dalam hukum syariat islam dan asas-asas serta kaidah-kaidah hukum islam yang tidak abadi sifatnya, yang terdapat dalam hukum fiqih islam. Yang pertama harus diikuti dari A sampai Z,sedang yang kedua,menurut A.Zaki Yamani (1978) tidak wajib diikuti dari A sampai Z,karena mungkin ada di antara asas-asas dan kaidah itu sangat sesuai untuk keadaan masa lampau,tetapi tidak cocok lagi untuk masa sekarang atau khusus misalnya untuk keadaan dan tempat tertentu seperti Indonesia ini.
Sementara itu patut juga dicatat bahwa transformasi hukum agama menjadi hukum nasioanal terjadi juga di beberapa negara Muslim seperti Mesir, Syria, Irak, Jordania dan Lybia.Yang berbeda adalah kadar unsur-unsur hukum islam dalam hukum nasional negara-negara yang bersangkutan.Di negara-negara tersebut, menurut Majid Khadduri (1966), hukum nasional mereka merupakan perpaduan antara asas-asas hukum Barat dengan asas-asas hukum islam. Ditanah air kita, hukum nasional di masa yang akan datang akan merupakan perpaduan antara hukum adapt, hukum Islam dan hukum eks-Barat.
Perkembangan hukum islam di negara-negara islam dan negara-negara yang penduduknya mayoritas beragama islam di masa yang akan datang,menunjukkan keanekaragaman dan kesatuan. Jika dilihat dari segi hukum islam sendiri,keanekaragaman itu akan terlihat pada bidang-bidang hukum ekonomi,perdagangan internasional,asuransi,perhubungan (laut,darat,dan udara),perburuhan,acara,susunan dan kekuasaan peradilan,administrasi dan lain-lain bidang hukum yang bersifat netral.
Jika kalimat-kaliamat di atas diterapkan ke dalam konteks hukum nasional Indonesia,”keanekaragaman” hukum (fiqih) islam untuk negara-negara islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama islam akan menjadi satu dan merupakan kesatuan hukum nasional yang dituangkan dalam kodifikasi-unifikasi yang berlaku bagi semua warga negara dan penduduk(Indonesia),sedang yang merupakan “kesatuan” bagi umat islam di mana pun mereka berada,jika diterapkan kedalam situasi dan kondisi Indonesia,akan merupakan keanekaragaman, karena keanekaragaman hukum agama yang dipeluk oleh umat beragama dalam Negara Republik Indonesia.Hukum keluarga,yang terdiri dari hukum perkawinan dan hukum kewarisan,menurut almarhum Profesor supomo, karena berhubungan erat dengan agama, harus berbeda, sesuai dengan perbedaan agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia
Apabila membicarakan hukum islam dalam pembinaan hukum nasional,perlu diungkapkan produk pemikiran hukum islam dalam sejarah perilaku umat Islam dalam melaksanakan hukum islam di Indonesia,seiring pertumbuhan dan perkemangannya yaitu : Syariah, Fikih, dan Fatwa ulama/hakim.
Hukum islam yang berbentuk fatwa adalah hukum islam yang dijadikan jawaban oleh seseorang dan/atau lembaga atas adanya pertanyaan yang diajukan kepadanya.Sebagai contoh Fatwa Majelis Ulama Indonesia mengenai larangan Natal bersama antara orang Kristen dengan orang Islam.Fatwa dimaksud, bersifat kasuistis dan tidak mempunyai daya ikat secara yuridis formal terhadap peminta fatwa.Namun, fatwa mengenai larangan Natal bersama dimaksud secar yuridis empiris pada umumnya dipatuhi oleh umat islam di Indonesia.Oleh karena itu, fatwa pada umunya cenderung bersifat dinamis terhadap perkembangan baru yang dihadapi oleh umat islam.
•Keputusan Pengadilan Agama
Hukum Islam yang berbentuk Keputusan Pengadilan Agama adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama atas adanya permohonan penetapan atau gugatan yang diajukan oleh seseorang atau lebih dan/atau lembaga kepadanya.Keputusan dimaksud, bersifat mengikat kepada pihak-pihak yang beperkara.Selain itu, keputusan pengadilan agama dapat bernilai sebagai yurisprudensi (jurisprudence), yang dalam kasus tertentu dapat dijadikan oleh hakim sebagai referensi hukum.
 •Perundang-undangan Indonesia
Hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia adalah yang bersifat mengikat secara hukum ketatanegaraan, bahkan daya ikatnya lebih luas.Oleh karena itu, sebagai peraturan organic, terkadang tidak elastis mengantisipasi tuntutan zaman dan perubahan.Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.Undang-undang itu memuat hukum Islam dan mengikat kepada setiap warga negara Republik Indonesia.
Kini, di Indonesia, hukum Islam yang disebut dan ditentukan oleh peraturan perundang – undangan dapat berlaku langsung tanpa harus melalui hukum Adat. Republik Indonesia dapat mengatur suatu masalah sesuai dengan hukum Islam, sepanjang pengaturan itu hanya berlaku bagi pemeluk agama Islam. Kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum Indonesia adalah sama dan sederajat dengan hukum Adat dan hukum Barat, karena itu hukum Islam juga menjadi sumber pembentukan hukum nasional yang akan datang di samping hukum adat dan hukum barat yang juga tumbuh dan berkembang dalam negara Republik Indonesia.
Kutipan ini semakin menegaskan bahwa hukum Islam berkedudukan sebagai sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.
2.3 Politik Hukum Nasional di Indonesia
Setelah serangkaian empat kali perubahan UUD 1945, tidak dikenal lagi garis-garis besar haluan negara yang selama pemerintahan Orde Baru dapat kita temukan garis-garis besar arah politik hukum nasional dalam kurun waktu lima tahunan. Karena itu bagaimana hukum itu dibangun dan dikembangkan dapat dikembalikan dalam kerangka UUD 1945 baik yang tercermin dalam cita hukum yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 maupun dalam pasal-pasalnya.

Hukum bukanlah lagi mesti dikonsepkan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan malinkan ius yang telah mengalami posisitivisasi sebagai lege atau lex guna menjamin kepastian “apa yang terbilang hukum” dan “ apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagal hal-hal yang bukan hukum” (Wignjosoebroto dalam Mieke Komar at.al, 1999 : 210-211). Dalam posisi seperti ini, negara (pemegang otoritas) menjadi sangat penting dalam menentukan apa yang merupakan hukum dan apa yang tidak merupakan hukum. Norma agama, norma moral serta adat istiadat tidaklah dianggap sebagai norma hukum. Sedangkan norma hukum haruslah memiliki kekuatan mengikat dan memaksa dimana negaralah yang menentukannya. Negaralah yang memproduk hukum dalam bentuk perundang-undangan. Apa yang dimaksud dengan hukum adalah apa yang ada dalam perundang-undangan itu (what it’s in the text) atau paling tidak memiliki dasar berlaku yang bersumber dari undang-undang.

Peran negara bagi pembentukan hukum dan apa yang merupakan hukum atau tidak merupakan hukum nampak pada politik hukum yang dianut dalam sistem hukum Indonesia. Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan politik pluralisme hukum, dimana berlaku hukum yang berbeda untuk golongan-golongan masyarakat Hindia Belanda yang berbeda pula yaitu politik hukum adat (adatrechtpolitiek) yang berlaku bagi golongan bumi putera. Hukum yang diintrodusir dari Belanda yang berlaku bagi golongan Eropa dan golongan masyarakat lainnya yang menundukkan diri pada hukum Eropa dan hukum masing-masing dari golongan Cina dan Timur Asing. Dengan demikian Belanda menerapkan politik hukum majemuk dan mengabaikan unifikasi hukum yang berlaku untuk seluruh Hindia Belanda. (Lihat Daniel Lev, 1990 : 439-455). Dengan politik yang demikian apa yang disebut hukum yang berlaku di Hindia Belanda adalah tergantung pada golongan hukum yang dianut.

Indonesia adalah termasuk kelompok negara yang melakukan politik hukumnya secara tetap dan sistematis (terprogram). Hal ini tentu disebabkan oleh kenyataan bahwa disatu pihak negara Indonesia adalah dari negara eks jajahan Belanda yang meninggalkan hukum-hukum kolonial yang berlaku di Indonesia – walaupun tidak seluruhnya hukum kolonial itu jelek – hampir di seluruh aspek kehidupan. Pada pihak lain ada kehendak untuk mengganti hukum-hukum kolonial itu dengan hukum baru produk Indonesia merdeka dengan berpedoman pada cita negara (staatsidee) dan cita hukum (rechtsidee) yang termuat dalam konstitusi (pembukaan UUD 1945). Disamping itu pembentukan hukum itu terus berjalan dan disempurnakan, bahkan hukum yang dibentuk setelah merdeka pun terus mengalami perubahan-perubahan sesuai tuntutan perkembangan masyarakat dan negara.

Isi dan corak politik hukum itu dapat berbeda antara satu dengan yang lain, karena berbagai faktor (Bagir Manan dalam Mieke Komar at al hlm 231-237), antara lain : a) dasar dan corak politik; b) tingkat perkembangan masyarakat; c) susunan masyarakat; serta d) pengaruh global. Dasar dan corak politik hukum Indonesia bersumber pada konstitusi (pembukaan UUD 1945), yang didalamnya mengandung cita negara, cita hukum dan dasar-dasar politik hukum negara. Hukum ditujukan untuk mewujudkan kedailan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kemakmuran rakyat, memenuhi prinsip kemanusiaan, serta dilandasi oleh demokrasi dan musyawarah yang seluruhnya dengan menghormati ajaran agama. Dengan landasan itulah politik hukum dibangun dan dikembangkan baik pada tataran tujuan maupun proses pembentukan hukum dalam berbagai perundang-undangan. Karena pemahaman terhadap hukum di Indonesia yang dipengaruhi oleh paham positivistik maka pada kenyataannya hukum –khususnya peraturan perundang-undangan – adalah merupakan produk politik.

Sebagai negara demokrasi – walaupun masih pada tahap demokrasi yang belum mapan – proses pembentukan hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada dan berbeda idiologi dan kepentingan politiknya. Hukum yang lahir dari negara demokratis sangat dipengaruhi oleh kekuatan dan pendapat rakyat melalui prosedur demokrasi, dan hal ini berbeda dengan negara otoriter yang sangat dipengaruhi oleh pihak penguasa. Walaupun harus diakui, pada kenyataannya pembentukan hukum sangat didomisasi oleh elit-elit politik yang memiliki otoritas yang dianggap representasi rakyat dan dilain pihak keterlibatan rakyat secara langsung yang masih minim.

Susunan masyarakat Indonesia adalah sangat majemuk – plural – dan tidak homogen. Hal ini tercermin dalam dalam semboyan “bhinneka tunggal ika”. Karena susunan masyarakat yang demikianlah pembentukan hukum harus menghormati keragaman itu, kepentingan satu pihak tidak dapat dipaksanakan pada pihak lainnya. Dengan demikian cita-cita unifikasi hukum tidak bisa dipaksakan dan haruslah ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan sosial rakyat Indonesia yang majemuk. Kericuhan pembangunan hukum selama selama ini sangat dipengaruhi oleh cita-cita unifikasi hukum, yaitu satu hukum nasional yang berlaku untuk semua kelompok masyarakat yang berbeda-beda. Akibatnya adalah perebutan kekuatan politik dalam pembentukan perundang-undangan menjadi menonjol. Demikian juga dalam bidang hukum lainnya, termasuk rancangan hukum pidana nasional yang sedang diperdebatkan sekarang ini mulai memperhatikan aspek-aspek terkait dengan hukum islam. Sebaliknya jika syariat (fiqh) ini tidak bisa berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sangat mungkin memperluas pemberlakuan hukum islam pada aspek-aspek lain yang khusus berlaku bagi penganut agama Islam. Politik hukum juga harus memperhatikan perkembangan global terutama perkembangan ekonomi, iptek dan hubungan antara negara yang semakin tidak lagi memiliki tapal batas antar negara. Akomodasi terhadap perkembangan glogal tidak diartikan sebaga penerimaan penuh pada apa yang berkembang di negara-negara lain, akan tetapi harus diartikan sebagai proses adaptasi dan penyesuaian yang tidak meninggalkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai serta kepercayaan yang berkembang kuat dalam masyarakat kita. Penerimaan nilai-nilai baru dengan cara revolusioner akan menimbulkan goncangan yang seharusnya dihindari dalam masyarakat.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah, hukum Islam bersifat universal, berlaku kepada setiap orang yang beragama Islam, dimanapun dan kapanpun ia berada. Oleh karena itu, hukum Islam juga berlaku terhadap umat Islam di Indonesia. hanya saja, tidak semua peraturan dalam hukum Islam menjadi hukum nasional, dikarenakan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan karakter bangsa dan Undang – Undang Dasar 1945.
Keberadaan sistem Hukum Islam di Indonesia sejak lama telah dikukuhkan dengan  berdirinya sistem peradilan agama yang diakui dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Bahkan dengan diundangkannya UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan Pengadilan Agama Islam itu semakin kokoh.
Hukum Islam di Indonesia telah mengalami pasang surut seiring dengan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Pasang surut tersebut adalah perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan bagi upaya transformasi hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional. Sejarah produk hukum Islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang menjadi bukti bahwa sejak dahulu kala hukum Islam telah menjadi hukum yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Hukum Islam berkedudukan sebagai salah satu hukum yang mempengaruhi perkembangan sistem hukum nasional. Beberapa hukum Islam yang telah melekat pada masyarakat kemudian dijadikan peraturan perundang – undangan. Dengan adanya peraturan – peraturan perundang – undang yang memiliki muatan hukum Islam maka umat muslim Indonesia pun memiliki landasan yuridis dalam menyelesaikan masalah – masalah perdata
3.2 Saran-saran
Dalam rangka dilakukannya upaya pembangunan hukum nasional alangkah baiknya memperhatikan asas-asas yang terdapat dalam hukum Islam karena hukum Islam ini telah mengakar lama dalam masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan kajian terhadap hukum Islam secara mendalam dengan memperhatikan wawasan kebangsaan. Lembaga Legislasi dalam pembentukan hukum nasional juga harus selalu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga pengkaji hukum Islam yang ada di Indonesia.
Sebagai makhluk Tuhan kita harus memiliki jiwa sosial kita harus mengutamakan bertoleransi, khususnya dalam beragama. Jadi, khususnya kita para jiwa muda penerus bangsa wajiblah kita untuk memahami lebih dahulu tentang sejarah hukum Islam di Indonesia lalu kita mengetahui tentang perkembangan hukum Islam melalui politik hukum nasional agar kelak kita (khususnya umat muslim) dapat terus mempertahankan hukum dan budaya kita.
Agar kelak makalah ini dapat berkembang dan menjadi lebih baik saya sebagai pembuat makalah sangat berharap adanya kritik dan saran untuk perbaikan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita dalam bidang hukum islam khususnya.


Daftar Pustaka
·         Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan). Jakarta: Rajawali Pers, 1997.
·         Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H., Hukum Islam : Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
·         Dr. Amir Machmud & H. Rukmana, S.E., M.Si., Bank Syariah : Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
·         Didi Kusnadi. Hukum Islam di Indonesia (Tradisi, Pemikiran, Politik Hukum dan Produk Hukum). Kuningan: Ebook, 2010.
·         Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia‛ dalam Mimbar Hukum No. 1 tahun V. Jakarta: al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI, 1994.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar